I always love twilight.
Maaf, bukan twilight yang diperankan oleh Robert Pattinson atau bukunya Stephanie Meyer…tapi adalah semburat jingga dan terkadang merah yang menghiasi langit senja menjelang malam. Di saat matahari mulai mengalah mundur dari langit dan angin yang berhembus semakin sejuk.
Aku selalu suka langit senja, apalagi jika siang harinya panas terik.
Karna semakin terik harinya maka di waktu sore semakin merah warna langitnya.
Mungkin itulah yang dinamakan adil, dalam setiap keadaan yang menyebalkan tetap selalu ada hal-hal positif dibalik itu semua.
Alasan lain yang membuatku betah berjam-jam memandangi langit sore adalah karna langit sore selalu mengingatkanku padamu.
Pada cerita kita. Yang tak pernah bisa ku lupa, yang terus melekat di kepala seolah baru kemarin terjadi. Dan hanya lewat langit sore aku bisa merasakan kehadiranmu di sampingku.
Seperti senja ini, yang tak ada bedanya dengan senja-senja yang ku lalui di hari sebelumnya.
Ketika penat yang merajalela hadir karena beban pekerjaan hari ini. Aku juga bingung ada apa dengan hari ini.
Ada saja yang salah, mulai dari janji temu dengan Konsul Jepang yang dibatalkan last minute padahal aku sudah bela-belain menyisihkan waktu dan menolak bertemu dengan Direktur perusahaan minyak goreng yang berminat untuk mensponsori acara lomba masak yang akan aku adakan.
Sementara untuk bertemu dengan sang pimpinan perusahaan sendiri aku harus ekstra kerja keras dengan cara meraih simpati Viona, sang sekretaris.
Mulai dari membawakan bingkisan kosmetik dengan alasan yang anehnya ada saja aku katakan sehingga tidak terkesan menyuap hingga berusaha menjadi teman dekat sang sekretaris Direktur yang notabene adalah orang paling norak sedunia.
Tapi apa daya, berhubung sang sekretaris tak lain merupakan keponakan sang Direktur terpaksa aku mengikuti aturan mainnya.
Dan ketika akhirnya aku mendapatkan janji temu dengan sang Direktur dengan sangat menyesal aku meminta janji temu tersebut di reschedule karena pihak Konsul Jepang (sebagai pelaksana program Lomba Memasak ini) memintaku untuk segera datang menghadap karena ada sesuatu hal yang sangat mendesak.
Dan ternyata, pada akhirnya semuanya seperti hancur berantakan...ke hulu tak sempat ke hilir tak dapat.
Waktu aku berusaha mencoba meminta Viona menyisipkan pertemuanku dengan Pak Direktur siang ini di jam makan siang, dengan sangat menyesal Viona mengabarkan bahwa Pak Direktur baru saja terbang ke Surabaya untuk mengurus cabang baru yang akan dibuka disana dan mungkin seminggu lagi akan kembali.
Padahal, jika saja perusahaannya bersedia menjadi sponsor utama maka acara ini sudah bisa dipastikan fix 60%.
Tapi apa daya, sepertinya alam semesta mendukungku untuk bersantai sejenak siang ini. Maka sebelum aku kembali ke kantor untuk meeting dengan anak-anak yang lain maka ku sempatkan singgah di Dunkin Donuts untuk secangkir Ice Cappucino.
Ketika duduk di terasnya, aku baru menyadari bahwa hari sudah beranjak sore dan langit memerah karna panas menyengat tadi siang.
Warnanya begitu magis hingga aku meraih ponsel ku dan mengabadikan langit itu. Tiba-tiba terdengar alunan lagu yang menggema dari ponsel seseorang di meja sebelahku,
“...you know i can’t smile without you
Can’t smile without you
I can’t laugh, and I can’t sing
I finding it hard to do anything....”Seperti tersengat listrik, aku mencari sumber suara dan melihat seorang Bapak menjawab panggilan masuk tersebut. Tersentak karena aku sudah lama sekali tidak mendengar lagu itu. Lagu yang sangat bersejarah dalam hidupku. Lagu yang mengingatkanku padamu. Tanpa sadar aku kembali menatap langit sore yang merahnya semakin lama semakin memudar sampai akhirnya digantikan oleh warna hitam yang menyelimuti bumi.
Ku hela nafas panjang, tak ingin sebenarnya aku mengingat-ingat lagi apa yang pernah terjadi diantara kita. Buatku kisah kita hanyalah seperti permainan roller coaster 10 menit. Yang mampu mengaduk seluruh emosi yang aku punya, tumpah ruah hanya untuk 10 menit tersebut. Untuk kemudian setelah semuanya selesai yang tinggal hanyalah pusing, mual dan kenangan yang tidak akan pernah lekang. Untuk mengulanginya lagi? Belum tentu aku sudi. Seringkali ketika aku ditanya teman-temanku, aku menjawab dengan sedikit berkelakar bahwa yang terjadi antara aku dan kamu hanyalah Summer Love, Cinta Satu Malam, dan sejenisnya.
Irama soundtrack sebuah drama serial Korea mengagetkanku, cepat-cepat ku lihat layar handphone dan buru-buru menekan hijau untuk menerima panggilan tersebut.
“Yes, Beib?”
“Kamu dimana, Beib? Aku telpon ke kantor tadi katanya kamu lagi keluar ya?”
”Iya nih, Beib...aku masih di Jalan Gajahmada mampir sebentar beli Ice Cappucino”
“Aduh, kok ngopi lagi sih? Kamu kan tau kamu ga boleh ngopi lagi, Beib...apalagi yang disitu, nanti kamu kaya kemaren lagi loh jantungnya sesak” terdengar nada kuatir yang tulus dalam suaranya.
“Ini terakhir deh..”
“Perasaan minggu lalu itu kamu bilang yang terakhir, kan?”
“Maksudnya, terakhir dalam minggu ini Beib...minggu depan lagi deh baru aku minum Ice Cappucino sini lagi”
“Ha.Ha.Ha...ga lucu, Beib!” suaranya meninggi. “Kamu kan tau aku sayang banget sama kamu dan aku ga mau liat kamu sakit lagi..” suaranya berubah menjadi lebih lembut. Bisa ku bayangkan raut wajahnya saat mengatakan kalimat itu. Kalimat bernada kuatir yang selalu dia lontarkan saat aku membandel dengan apa yang dia bilang.
“Iya, Beib...iya aku tau tapi kepalaku pusing banget tadi semua janji pada dibatalin sama client-client kamu kan tau juga kalo pusing aku nyari kopi” sahutku manja, karna hanya dengan nada suara ini aku bisa melunakkan amarahnya.
“Ya udah..lain kali kalau kamu pusing mending kamu minum air putih deh ya. Jaga kesehatan kamu” tuh, kan bener...berhasil deh rayuan pulau kelapanya
“Iya...iya...eh, aku mau balik ke kantor dulu yah Beib ada meeting nih sama anak-anak, ga enak dong masa aku yang in charge meeting malah aku yang telat”
“Ya udah, hati-hati di jalan yah..kabarin kalau kamu udah mau pulang. Bye my sweetheart. I love you”
“I love you, too”
Bergegas ku tinggalkan kedai kopi menuju sedan merah yang terparkir manis di parkiran. Ku lirik jam tangan ternyata sudah pukul 18.30 dan setengah jam lagi meeting akan dimulai. Untungnya Medan walaupun merupakan kota ke-3 terbesar setelah Jakarta dan Surabaya tidak begitu macet. Seperti yang aku selalu katakan ke orang-orang yang bukan tinggal di Medan, “Di Medan mana ada yang jauh...” That’s why I love this city dan belum ada niat untuk pindah ke kota yang lebih besar walaupun pastinya karirku bisa melesat lebih cepat di kota yang lebih besar.
Tak sampai 20 menit kemudian aku sudah sampai di depan sebuah bangunan kuno yang memang merupakan rumah model jaman Belanda dulu. Warnanya sengaja kami cat dengan warna hitam bergaris kuning cerah seperti menegaskan nama perusahaan kecil kami “YELLOW STRIPES”. Bangunan yang bercorak menarik ini memang sengaja kami cat demikian dengan harapan setiap orang yang melintas akan merasa penasaran. Untungnya seorang teman yang memang sepertinya sudah kelebihan properti menyewakannya kepadaku untuk usaha yang aku rintis bersama dengan beberapa teman dekatku. Sebenarnya kata “menyewakan” sangat tidak tepat mengingat harga yang dia berikan benar-benar hanya seperti biaya bensinku satu bulan. Awalnya dia memaksaku untuk memakai rumahnya itu secara cuma-cuma karena pada awal aku merintis usaha Event Organizer ini Aku, Dennis dan Bianca hanya dapat menyewa satu ruko berlantai 2 yang sempit dan berada cukup jauh dari pusat kota. Dan hal ini seringkali menjadi kendala karena jika semakin dekat dengan hari-H event maka kantor akan semakin sesak dengan orang-orang yang datang dan pergi mengantarkan pernak-pernik design, spanduk, banner, backdrop yang cukup besar sementara tempat untuk menampung semuanya kadang terkesan dipaksakan. Kadang malah beberapa barang yang tidak muat kami titipkan di rumahnya Dennis walau kadang dia protes,
“Rumah, gudang ama kantor kok makin ga ada bedanya yah?” yang Bianca dan aku hanya tanggapi dengan senyum manis.
Karna memang hanya rumahnya yang memungkinkan untuk menampung semuanya karna Bianca dan aku sama-sama masih tinggal dengan orangtua.
“Kemana aja, cumi..?!” sapa Bianca
“And good evening to you, too...manisku” balasku
“Manis..kucing, kaleee..!” sambutnya, “Gimans, perburuan hari ini sukses, kah? Udah ada kabar dari Om-nya Viona? Trus gimana dengan Konsul Jepangnya? Udah ketemu?” cecarnya
“Aduh, ni orang ya...belum lagi narik napas udah diteror aja sama pertanyaan. Sabar, neng...jawabannya sekalian aja yah waktu kita meeting? Dennis mana?” tanyaku
“Am here!” sambung Dennis dengan mulut penuh mi instan.
“Aduh, udah berapa kali sih aku bilangin..ga baik tau, sering-sering makan mi instan kayak gini, Den. Kamu tau nggak, pencernaan kita itu cuma bisa mentolerir mi instan kayak gini 3 hari sekali. Lha, kamu malah 3 hari berturut-turut makanannya beginian terus!” celoteh Bianca sambil berusaha merebut mangkok di tangan Dennis yang dengan lincahnya berkelit.
“Tenang aja, darling...kalau begitu 9 hari ke depan saya ga akan makan mi instant”
“Lho, kok?” tanya Bianca kebingungan
“Ya iyalah, 3 hari berturut-turut dikali dengan 3 hari yang seharusnya aku ga makan mi instan” jawabnya kalem
“Aaarrrggghhh...bukan gitu, Den..”
“Udah! Stop..stop! Come on you too, we have a meeting to catch, remember?” kataku sambil mengetuk-ngetukkan kuku di jam tanganku.
Kalau tidak ada yang melerai mungkin dua orang ini ga akan berhenti saling menghina dan bertengkar. Keduanya memang terkenal tidak akur tapi anehnya kalau yang satu tidak ada maka yang lain akan kehilangan dan merasa rindu. Aku adalah saksi ketergantungan mereka berdua tapi tetap saja mereka tidak mau mengakuinya.
Tenang, diantara mereka tidak ada benih cinta kok, keduanya sama sekali tidak memiliki rasa lain selain persahabatan. Sama sepertiku, hubungan kami bertiga ibaratnya saudara kembar. Karena memang aku mengenal keduanya sejak duduk di bangku SMP. Kami sejak dulu memang dekat dan apa pun yang kami alami bersama semakin memperkuat dan memperkaya hubungan persahabatan kami. Hobi dan kesukaan masing-masing pun menjadi perekat hubungan diantara kami. Maka ketika banyak yang merasa skeptis melihat niat kami membuka usaha bersama malah membuat kami merasa semakin terpacu. Maklum saja banyak yang mempercayai bahwa dengan bisnis hubungan persaudaraan saja bisa pecah apalagi hubungan persahabatan. Bukannya kami dari awal tidak mengetahui konsekuensinya, kami sangat memahami itu sehingga merencanakan semuanya dengan sebaik-baiknya. Perusahaan kami sah secara hukum dan pembagian sahamnya pun di bagi dengan seadil-adilnya sesuai dengan modal awal masing-masing. Dennis kebetulan mendapatkan saham 40% sementara aku dan Bianca masing-masing 30%. Kami sengaja berkelakar dengan mengatakan,
“Kamu kan laki-laki, jadi kamu memang harus punya saham lebih besar buat menghidupi keluarga kamu nantinya kalau kami berdua sih pastinya mendapat laki-laki kaya dan paling usaha ini cuma alat buat gaul aja” yang tentunya pernyataan kami ini disambut dengan jitakan di kepala kami berdua oleh Dennis.
“Okay, now...” Dennis mulai memimpin rapat malam itu dengan memaparkan sudah sampai sejauh mana progress event yang kami rencanakan.
Tim yang kami punya walaupun hanya terdiri dari aku, Bianca, Dennis, Boy, Rangga dan Salim sudah merupakan tim yang solid. Untuk urusan administrasi dan keuangan dipegang oleh Bianca, untuk urusan lapangan dan yang memerlukan tenaga besar mulai dari setting tempat, sound system, urusan-urusan teknis kami serahkan kepada Dennis, Boy dan Rangga sementara Salim urusannya design dan publikasi dan aku sendiri memiliki tugas untuk mencari client baru. Kalau untuk ide-ide kreatif biasanya ditelurkan bergantian baik oleh aku, Bianca dan Dennis dan seringkali setelah ide itu muncul maka yang lain akan menambahkan bumbu-bumbunya hingga konsepnya semakin matang.
“Olive, kamu udah sampai mana nih sama clientnya?” tanya Dennis padaku.
“Rencana hari ini gatot, Den...” jawabku
“Hah? Kok bisa sih kamu jadinya malah ketemu sama Om Gatot? Emang apa hubungannya event yang sekarang sama opera Jawa?” tanya Dennis bingung, Bianca pun sama herannya.
“Yeee...gak gaul amat sih jadi manusia! Makanya, sesekali nonton tv, baca koran, dengar radio yah biar gaul dikit, gitu” timpalku, “Gatot itu artinya Gagal Total, tauu..!”
“Ooo...” koor Dennis dan Bianca
“Kenapa bisa gitu, Nang?” sambung Bianca. Inang adalah panggilan sayang mereka berdua padaku karna diantara mereka hanya aku yan bersuku Batak sementara Bianca berdarah Chinese dan Dennis berdarah Ambon.
“Ya bisa aja. Nakamura San tiba-tiba ada urusan mendadak keluar kota sementara kalian kan tau pertemuan dengan Direktur perusahaan minyak goreng Star Oil ga jadi karna ada panggilan mendadak dari Konsulat Jepang. Tapi tenang aja, Viona udah mengusahakan kita teleconference dengan Pak Djaya, Dirut perusahaan itu karena memang bisa dipastikan Pak Djaya pulangnya minggu depan sementara buat kita setiap detik itu berharga” jelasku panjang lebar yang disambut dengan gerakan manggut-manggut keduanya.
“O, ya..aku baru ingat nih” celetuk Bianca. “Kemarin itu si Ibu sebelah tanya kita jadi ga nambahin komputer baru soalnya dia bilang sih perusahaan tempat anaknya kerja lagi ada promo gede-gedean buat laptop. Memang modelnya sedikit lebih jadul tapi spesifikasinya hampir sama tuh ama yang baru mereka keluarin” sambungnya lagi.
“Ya udah” jawab Dennis. “Sepertinya memang laptopnya Salim udah mulai soak, deh..tolong sampein ya Bi ke Ibu itu kita mau deh ambil. ASAP, yah”
“Okie Dokie, beres Tuan Besar” jawabnya sambil menaruhnya di buku catatan ajaibnya.
Ni anak memang ga bisa kemana-mana tanpa buku catatan karena terkenal pelupa. Pernah suatu kali dalam sebulan Yellow Stripes mengerjakan hingga 5 event sekaligus dan waktu itu kami sampai menambah beberapa orang untuk membantu. Salah satu client pada saat itu adalah sebuah komunitas narsis yang terkenal suka sekali “mejeng” di media. Setiap kali mereka melakukan kegiatan, mereka tak segan mengeluarkan biaya lebih asalkan dapat dipastikan media cetak dan elektronik sebanyak mungkin meliput kegiatan mereka. Buat kami sih, hal ini tidak menjadi masalah karena apa pun permintaan client, no matter how odd, it’s our command. Karena memang tag-line dari Yellow Stripes adalah “Your Wish Is Our Command”.
Yang menjadi masalah pada saat itu justru karena Bianca yang lupa mengundang media elektronik. Dia hanya mengundang media cetak. Padahal sudah aku peringatkan jauh hari namun mungkin karna pekerjaan yang over load menyebabkan dia lupa untuk melaksanakan yang satu itu. Ketika hari-H, semua sudah bersiap-siap dan iseng aku tanyakan ke Bianca,
“Biyan..gimana media elektroniknya, udah kamu undang kan?”
Dan dengan seruan keras yang mengagetkan dia menjerit “OMAIGOT..!!! Oliveee..! Kenapa ga kamu ingetin sih dari kemaren?!”
“Yee, kan tugasnya situ...gimana sihh?!”
Maka dengan paniknya dia menelpon beberapa media elektronik untuk meliput kegiatan mereka. Hampir nangis dia ketika mulai panik. Terbayang di kepalanya amukan dari si client dan tentunya Dennis yang akan sangat murka. Melihat raut wajahnya yang panik, aku jatuh kasihan. Untungnya aku memiliki banyak teman di media sehingga at the end of the day, kami semua merasa lega dan senang dengan hasil yang kami capai. Dan sejak kejadian itu Bianca berkeputusan untuk menenteng buku catatan kemanapun dia pergi.
Setelah meeting yang menghabiskan waktu selama 1 jam tersebut,
“Inang, cari makan yuk...laperr” rengek Bianca
“Iya nih, aku juga” timpal Dennis
“Kalo kamu sih laper terus kali, Den..” tuduh Bianca
Belum sempat Dennis membalas aku langsung menggandeng keduanya dan berkata, “Udah...udah, ga bakal makan nih kalau kalian udah mulai bertengkar..hayuk , ah!”
Akhirnya kami bertiga dengan menaiki mobilnya Bianca meluncur ke bilangan jalan Dokter Mansyur. Warung Triboy menjadi pilihan kami kali ini, selain warung ini memiliki sejarah buat kami pemilik dan petugas warung juga sudah familiar dengan kami. Mi acehnya terkenal paling enak disini. Dulu sekali, jaman SMA kami yang memang sengaja memilih SMA yang sama sering berlama-lama nongkrong di tempat ini. Ada saja alasan yang membuat kami betah berlama-lama disini. Kadang sambil menunggu Bianca yang les bahasa Inggris di seberang warung ini, kadang juga menemani Dennis ngecengin anak SMK di dekat warung. Kalau aku sih biasanya ikut aja dengan apa maunya mereka, asalkan ditraktir.
“Bang, biasa ya..” kata Bianca
Sanking udah seringnya kami kemari, si abang tukang masak udah hafal pesanan kami; Bianca selalu minta mi aceh yang di goreng kering dengan ekstra sambel dan kecap, Dennis minta mi aceh kuah dengan ekstra bawang tetapi tidak terlalu matang, sementara aku selalu memesan menu yang sama : mi aceh goreng sedikit basah. Dan minumannya pun selalu itu-itu saja: Mandi, alias Teh Manis Dingin. Ketika menunggu pesanan datang, handphone ku bergetar. Segera ku buka inbox handphoneku.
“Malam, Beib...lagi dimana? Udah makan kamu?”
Segera aku balas, “Malam, Beib. Ini lagi mau makan”
Tak lama masuk sebuah balasan, “Makan dimana? Bareng siapa?”
“Ini ama anak-anak, ada Dennis dan Bianca. Di warung mi aceh langganan. Kamu udah makan?”
“Belum nih, Beib. Can I join you guys?”
“Woi, sibuk aja sendiri!” suara Bianca mengagetkanku.
“Iya nih, Jonah sms dia katanya belum makan dan pengen gabung ama kita disini. Boleh ya?” pintaku
“Ya boleh,lah..suruh dateng aja..aku bosan jadi orang yang ganteng sendiri nih” jawab Dennis.
Walau sekilas tapi aku bisa melihat kilatan rasa tak senang dari keduanya. Entah dimana salahnya tetapi aku selalu bingung mengapa mereka tidak pernah bisa berteman akrab pada Jonah seakrab denganku. Selalu ada tembok yang susah sekali ditembus jika kami berkumpul.
Candaan yang super bodoh dan konyol, yang menjadi ciri khas pertemanan kami pun jarang sekali terlontar. Mereka seperti menahan diri. Tapi Jonah sepertinya tidak begitu sadar akan hal ini bahkan tidak ambil pusing sama sekali. Yang Jonah selalu katakan adalah, “ah...biasa itu mungkin karena mereka terlalu sayang sama kamu dan mereka belum terbiasa untuk menerima kehadiranku yang sekarang semakin menyita waktumu.” Dan ketika aku bertanya pada Dennis dan Bianca mereka hanya berkata,
“Perasaan kamu aja kali, Nang...kita sih orangnya asik-asik aja. Lagian ada yang mau sama kamu aja kita udah bersyukur banget, tau! Ya kan, Den?”
Dan selalu dijawab dengan kata “Yoi..” dari Dennis.
“Nyusul aja, Beib. Sekarang yah” balasku
“Ok, am OMW”
Tak sampai 10 menit seiring dengan datangnya pesanan kami masing-masing, Jonah pun datang. Dengan rambut gimbal sepunggung kebanggannya. Sudah beberapa kali aku membujuknya untuk memotong rambutnya itu tapi tak pernah berhasil. Kecintaannya pada Bob Marley, Tattoo dan musik Reggae sudah sangat meracuni pemikirannya. Dan gayanya yang cuek selalu dengan sendal jepit, kaos dan celana selututnya yang memamerkan tattoo tribal Indian yang sudah ada sejak kami jadian dulu. Seringkali jika kami jalan berdua, kami seperti bumi dan langit. Aku yang selalu fashionable dan dia yang selalu dengan gaya slenge’an. Sulit sekali rasanya mengajaknya pergi ke undangan kawinan dan memakai baju yang rapi. Apalagi usaha bengkel yang dia geluti memang tidak perlu kostum rapi, jadilah dia orang yang memang tidak suka berpakaian rapi.
“Hai, Beib..” sapanya sambil mengecup ubun-ubun kepalaku. Samar tercium aroma musk yang aku suka dan tak pernah aku merasa bosan menghirupnya. Aroma itu seperti membangunkan saraf-sarafku dan menarikku kepada kenangan-kenangan manis yang kami alami bersama.
Sambil tersenyum aku berkata, “Hai..I miss you today, you know!”
“Hoeekk..” tiba2 Bianca bersuara, “Masih ada orang, woy!”
“Eh, udah bayar sewa belum, Bi ke mereka?” sambung Dennis. Memang itu adalah candaan diantara kami. Karna adanya pepatah yang mengatakan ‘Dunia serasa milik berdua, yang lainnya ngontrak’ maka jika melihat ada pasangan yang menampilkan public affection maka kami akan melontarkan kalimat yang sama.
Aku hanya tertawa dan berkata, “Dilarang sirik! Makanya, punya pacar tetap dong..jangan semua sekali pake buang gitu”
“Ya iyalah, secara...di dunia ini banyak banget cowo lucu, masa mau bertahan dengan satu orang aja?” balasnya yang kami tanggapi dengan tertawa keras.
Dan langsung saja Dennis mengajak Jonah ngobrol tentang mesin dan pembicaraan khas cowok lainnya sementara aku dan Bianca membahas siapapun yang melintas di hadapan kami. Kebiasaan buruk yang suka iseng kami lakukan yaitu menjadi dubber orang-orang yang kebetulan lewat ataupun yang berada jauh dari kami yang kelihatannya menarik untuk dikomentari. Ini adalah kebiasaan yang tak pernah gagal membuat kami tertawa cekikikan berdua. Sekilas aku mencuri pandang ke arah Dennis dan Jonah yang masih sibuk dengan pembahasan mereka. Dalam hati kecilku aku tak pernah berhenti berharap semoga Jonah fit in di inner circle kami karena hal terakhir yang aku inginkan adalah memutuskan persahabatanku dengan keduanya.
---to be continue---